Makalah Teori Belajar Behaviorisme dan Kognitivisme Beserta Tokohnya
Sebelum copy paste makalah di bawah ini. Ada baiknya kita saling bertegur sapa melalui akun ini. Agar ke depannya tidak terjadi pencemaran hak cipta. Karena mengambil karya orang lain tanpa izin adalah tindak pidana dan dikenai hukuman penjara lho. Klik disini
TEORI
BELAJAR BEHAVIORISME DAN KOGNITIVISME
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pembelajaran
Tematik dan Evaluasi Berbasis Komputer
Dosen Pengampuh: Dr. Evi Eviyanti, M.Pd
Disusun Oleh :
Bambang Edi Susilo (8156182051)
Kelas B-2
PRODI PENDIDIKAN
DASAR PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya
suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori
belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di
dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru
dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak
ditemukan teori belajar yang menitik beratkan pada perubahan tingkah
laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan
ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap
dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang
individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman
dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
1.2. Perumusan Masalah
Karena pembahasan
tentang teori behaviorisme sangat luas, maka pada pembahasan makalah ini penulis akan menitik beratkan
pada poin-poin dibawah ini:
1. Apa pengertian teori
belajar behaviorisme dan kognitivisme?
2. Apa saja ciri-ciri teori
belajar behaviorisme dan kognitivisme
3.
Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behaviorisme dan kognitivisme?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Belajar
Behaviorisme
Behavior dalam
psikologi atau juga disebut behaviorisme adalah teori pembelajaran yang
didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari pengkondisian lingkungan.
Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Teori ini dapat dipelajari secara sistematis dan dapat diamati.
Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Teori ini dapat dipelajari secara sistematis dan dapat diamati.
Behaviorisme
atau Aliran Perilaku (juga
disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua
yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat dan
harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian
dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau pikiran.
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).
Menurut teori
belajar tingkah laku, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang telah dikatakan
sudah mengalami proses belajar jika telah mampu bertingkah laku dengan cara
baru sebagai hasil interaksi antara stimulus yang berupa proses dan materi
pembelajaran dengan respon atau tanggapan yang diberikan oleh pebelajar.
Misalnya; seorang
pelajar belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial di
masyarakat,seperti; ikut
berpartisipasi dalam kegiatan pemilu, kerja bakti, ronda dll
Teori Behavioristik
adalah teori yang hanya mempelajari perilaku nyata (overt behavior) tanpa
meneliti lebih jauh sebabnya. Teori ini pun membedakan antara teori pemerolehan
dan belajarannya.[1]
2.2 Ciri –ciri
Teori Belajar Behaviorisme
Adapun
ciri-ciri teori belajar behavioristik adalah,
1.
mementingkan penagruh lingkungan
2.
mementingkan bagian bagian
3.
mementingkan peranan reaksi
4.
mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
5.
mementingkan sebab sebab di waktu yang lain
6.
mementingkan pembentukan kebiasaan
7.
dalam pemecahan masalah, ciri khasnya trial and error[2]
2.3 Tokoh-tokoh dalam Teori
Behaviorisme
2.3.1 Ivan Petrovich Pavlov
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah
proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Teori ini menunjukkan bahwa tingkah laku tertentu dapat
dibentuk melalui proses conditioning. Anak dapat takut pada kucing, dan
sebaliknya dapat pula kita buat menjadi sayang kepada kucing.[3]
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah
nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya
sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam
hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah
lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang
benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan
apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan
binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh kesimpulan
berkenan dengan beberapa cara perubahan tingkah laku yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran. Misalnya murid dimarahi karena ujian biologinya buruk.
Saat murid untuk ujian kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua pelajaran
tersebut saling berkaitan.
2.3.2 John Watson
Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja yang dapat
dipelajari dengan valid dan reliable. Dengan demikian stimulus dan respon harus
berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).
Watson berpendapat
bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya. Alasannya adalah
jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati
dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari
apa yang dilakukan manusia (perilaku mereka) memungkinkan psikologi menjadi
ilmu yang objektif. Watson menolak pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan
mempertahankan pelaku sebagai subjek psikologi. Khususnya perilaku yang
observabel atau yang berpotensi untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik
pada aktivitas manusia dan hewan. 3 prinsip dalam aliran behaviorisme:
1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen
atau pembangun pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan.
Perilaku muncul sebagai respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan
hewan.
2. Perilaku adalah dipelajari sebagai
konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk
karena dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang
baru saja, materi fisik dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan
individu akan belajar dari semua itu.
3. Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan
hewan sama, jadi mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku manusia.
Pada
dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin
menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas
keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian
berbagai refleks.
2.3.3 Edward Lee Thorndike
Dalam
bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyangkal pendapat bahwa hewan
memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga
memiliki kecerdasan.
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Teori
ini disebut dengan teori koneksionisme atau juga disebut “S -R Bond Theory” dan
“S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga terkenal dengan “Trial
and Error Learning”.(Slavin, 2000)
Ketika
Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang,
hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu
singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk
lolos dan mendapatkan hadiah.
Thorndike
menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut
bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari
kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai
benar).
Menurut
Thorndike, ada beberapa hukum pokok dalam proses belajar manusia, antara lain:
1. Law of Readiness, yaitu kesiapan untuk
bertindak itu timbul karena penyesuaian diri dengan sekitarnya yang akan
memberikan kepuasan,
hubungan antara stimulus dan respon akan mudah terbentuk apabila ada kesiapan
pada diri seseorang.
2. Law of Exercise, hubungan antara stimulus
dan respon itu akan sangat kuat bila sering dilakukan pelatihan dan
pengulangan, dan akan menjadi lemah jika latihan tidak diteruskan.
3. Law of Effect, yaitu perbuatan yang
diikuti dengan dampak atau pengaruh yang memuaskan cenderung ingin diulangi
lagi dan yang tidak mendatangkan kepuasan akan dilupakan.
2.3.4 B.F
Skinner
Skinner meyakini bahwa perilaku
individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang
dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant
(penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Azas
operant conditioning B.F Skinner
mulai muncul dalam tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori-teori S-R
(Stimulus-Respons) yang kemudian dikenal dengan model konditioning klasik dari
Pavlov yang pada saat itu telah memberi pengaruh yang kuat dalam pelaksanaan
penelitian.
Munculnya
teori Operant conditioning ini
sebagai bentuk reaksi ketidak puasan Skinner atas teori S-R, umpamanya pada
pernyataan “Stimulus terus menerus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak
mengendur” (Gredler, 1991 : 115). Dengan kata lain suatu stimulus bervariasi
serta akan terjadi pengulangan bila terdapat penguatan (reinforcement).
Pengulangan respons-respons tersebut merupakan tahapan-tahapan dalam proses
mngubah atau pembentukan tingkah laku.
Sedangkan
secara menyeluruh, istilah Operant conditioning diartikan sebagai suatu situasi belajar dimana suatu respons lebih kuat
akibat reinforcement langsung (Wasty, 1998 : 126). Kemudian Margaret E. Bell Gredler dalam kesimpulannya
mengartikan operant conditioning sebagai proses mengubah tingkah laku subjek dengan jaalan memberikan
penguatan (reinforcement) atas respons-respons yang dikehendaki dengan
kehadiran stimulus yang cocok (Gredler, 1991 :125).
Skinner memandang bahwa belajar adalah perubahan dalam
perilaku yang dapat diamati dalam kondisi yang dikontrol secara baik. Ada tiga
syarat terjadinya interaksi antara organisasi dan lingkungannya antara lain,
(1) saat respon terjadi, (2) respon itu sendiri, (3) konsekuensi penguatan
respon. (Sudjana, 1991:86).[4]
Dari
beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa penciptaan suatu
kondisi dalam rangka pengubahan tingkah laku subjek, yang relatif sesuai dengan
yang dikehendaki (misalnya, oleh guru atau pemimpin pendidikan) yaitu dengan
mencermati dan mengontrol respons yang muncul, kemudian setiap respons tersebut
diberikan penguatan (reinforcement).
Dalam
eksperimen Skinner tersebut terdapat istilah Penguatan atau dapat disebut
sebagai reinforcement yaitu, setiap kejadian yang meningkatkan ataupun mempertahankan
kemungkinan adanya respon terhadap
kemungkinan respon yang diinginkan. Biasanya yangberupa penguat adalah sesuatu
yang dapat menguatkan dorongan dasar (basicdriver, seperti makanan yang dapat
memuaskan rasa lapar atau air yang dapatmenguatkan rasa haus) namun tidak harus
selalu demikian.
Pada
manusia, penguatan sering salah sasaran sehingga pembelajaran menjadi tidak
effisien. Masalah lain dengan pengkondisian manusia adalah penentuan manakah konsekuansi-konsekuensi yang menguatkan dan
manakah yang melemahkan. Karena bergantung pada sejarah individu, penguatan dan
disiplin terkadang dapat menjadi penguatan sedangkan ciuman dan pujian dapat menjadi hukuman.
2.4 Pengertian
Teori Kognitivisme
Teori kognitif adalah teori yang umumnya dikaitkan dengan proses
belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa
mengamati, melihat,menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata
lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif
menyatakan bahwa proses belajar
terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri.
Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih
dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
2.4
Ciri-ciri Aliran
Kognitivisme
·
Mementingkan apa yang ada
dalam diri manusia
·
Mementingkan keseluruhan dari
pada bagian-bagian
·
Mementingkn peranan kognitif
·
Mementingkan kondisi waktu
sekarang
·
Mementingkan pembentukan
struktur kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalambelajar memperoleh dan
mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakiliobyek-obyek itu di
representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan,
gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yangbersifat mental,
misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan
keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri.Tampat-tempat yang
dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya
sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Padawaktu itu sedang bercerita,
tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dantanggapan itu di tuangkan
dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
2.4
Tokoh Tokoh Teori
Kognitivisme
2.4.1. Jean Piaget
Teorinya disebut “Cognitive Developmental” dalam
teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak. Piaget
adalah ahli psikolog development karena penelitiannya mengenai tahap tahap
perkembangan pribadi serta perubahan umur yang memengaruhi kemampuan belajar
individu. Menurut Piaget,
pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah
tidak kuantitatif, melainkan
kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut Suhaidi JeanPiaget
mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
Tahap sensory
– motor, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap inidiidentikkan
dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
Tahap pre –
operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap
inidiidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan
telahdapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
Tahap concrete
– operational,yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini
dicirikan dengan anak sudah mulaimenggunakan aturan-aturan yang jelas dan
logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. 4.
Tahap concrete
– operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang
terjadi pada usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahapyang terahir ini adalah anak
sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasiseseorang dengan lingkungannya terjadi
secara simultan melalui dua bentukproses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi
jika struktur kognitif yang telahdimiliki seseorang harus direkonstruksi/di
kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori
perkembangan kognitif ini Piaget jugamenekankan pentingnya penyeimbangan
(equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan
sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasiini dapat dimaknai sebagai
sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat
menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya.Proses perkembangan intelek
seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan
akomodasi.
2.4.2 Bruner
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia
berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner,perkembangan kognitif seseorang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan,terutama bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan
teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral
dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai
Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara
belajar yang terbaik menurut Bruner inia dalah dengan memahami konsep,
arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu
kesimpulan. (discovery learning).
2.4.3 Ausebel
Yang memandang bahwa Proses belajar terjadi jika siswa mampu
mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru yang dimana Proses
belajar terjadi melaui tahap-tahap:
1). Memperhatikan stimulus
yang diberikan
2). Memahami makna stimulus
menyimpan dan menggunakaninformasi yang sudah dipahami.
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa
(advanced organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan
belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum
yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akandipelajari oleh siswa. Advanced
organizer memberikan tiga manfaat yaitu :Menyediakan suatu kerangka konseptual
untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari danyang akan
dipelajari. Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secaralebih
mudah.
BAB. III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Menurut
teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan dalam tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dimana perubahan
tingkah laku tersebut tergantung pada konsekuensi.
Teori belajar kognitifisme lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar
itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
3.2. SARAN
Dalam
melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik sebauknya dan seharusnya
mempertimbangkan keadaan mental peserta didiknya disamping tingkah laku yang
diamati.
DAFTAR PUSTAKA
Bell Gredler, E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV.
Rajawali,1991.
Desyani, R. Jurnal dengan judul Telaah
Unsur-Unsur Behavioristik pada Pendekatan dan Metode Behavioristik. Hal:10
Jufri, A. Wahab. Belajar dan Pembelajaran Sains/A. Wahab Jufri. –
Bandung:
Pustaka Reka Cipta, 2013.
Mardianto, Psikologi Pendidikan. Medan:
Perdana Publishing, 2014
Rusman.
Model-model Pembelajaran Profesionalisme
Guru/Rusman.-
Ed. 2,-5.-Jakarta: Rajawali Pres, 2012.
Sarwono, S. W. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh
Psikologi. Jakarta: PT Buana Bintang, 2000.
Slavin, Robert E. Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktik . Jakarta :
PT.Indeks, 2008
Hadi, Ahmad. 2013. Teori Belajar Behavioristik. dalam http://nudisaku.blogspot.com
_____2013.Teori Belajar Kognitivisme. dalam
htttp://maskurmuslim.blogspot.com/2013/12/teori-belajar-kognitivisme.html
Makalah Teori Belajar Behaviorisme dan Kognitivisme Beserta Tokohnya
Reviewed by Bamzsusilo
on
Rabu, September 02, 2015
Rating:
Post a Comment