Transformasi IAIN ke UIN, Wisuda dan Harapan Ortu



Kemaren ikut bergembira karena banyak rekan-rekan yang wisuda. Tak hanya bahagia karena wisuda saja, namun aku juga ikut sedih plus menyesal. Bah, kok bisa begitu. Iya, aku sedikit menyesal karena menjadi salah satu dari ribuan wisudawan untuk terakhir kalinya yang mendapat gelar sarjana dari IAIN SU pada Desember tahun lalu. Sedangkan wisuda yang telah berlangsung kemaren 3 & 4 Juni 2015 menjadi wisudawan UIN SU Perdana. Rasanya pengen wisuda lagi di tahun ini. Huhuhu. 

Apa hendak dikata, nasi udah jadi bubur. Tak mungkin waktu bisa diulang. Walaupun menjadi wisudawan yang terakhir kali di kampus IAIN SU, aku tetap bangga. Karena bakal menjadi sejarah yang tak terlupakan. Pas kebetulan perayaan wisuda disertai launching IAIN SU menjadi UIN SU. Apalagi Kemenag RI yang diwakili sekjennya turut hadir dalan perayaan wisuda Desember tahun lalu. Ya walaupun kala sambutan, Pak Rektor sempat mengeluarkan statement bahwa kami yang wisuda akan menjadi alumni perdana UIN SU yang akhirnya tak kesampaian, apa boleh dikata. Harapan tak sesuai kenyataan.

Aku sempat kecewa sih, pada saat wisuda kemarin. Aku kira seluruh wisudawan akan dilantik secara langsung oleh rektor. Tapi sayang sekali sob, hanya wisudawan terbaik darimasing-masing jurusan atau prodi saja yang dilantik oleh rektor. Kami yang tidak terbaik pertama harus rela memidahkah tali toga secara personal. Oimak, sedihnya. Aku sempat mendengar siulan kekecewaan dari para wisudawan di samping kanan kiriku yang duduk berbaris rapi menggunakan pakaian toga lengkap.

Aku memandang ke sekeliling rekan-rekanku yang larut dalam kekecewaan plus kebahagiaan. Raut wajah mereka yang mengkerut karena lelah bertaruh selama 4 tahun memperjuangkan selembar ijazah berbaur bersama senyuman hangat. Tak terkecuali diriku yang memandang tribun kanan ada keluarga yang turut mendampingi proses wisudaku. Ada Bapak, Mamak, Kak Titi dan Bagus adik tunggalku. Mereka dengan wajah bahagia menyambutku dengan penuh kegembiraaan yang tak dapat dilukiskan. Bayangkan saja, separuh masa kuliahku, mereka tak dapat bertemu denganku. Bahkan mulai dari aku tes ujian di IAIN hingga aku semester 4 barulah mereka menyaksikan betapa masa kuliah penuh dengan lika-liku.

***
Namun, sebenarnya aku sangat berbahagia. Harapan terbesarku saat itu untuk membahagiakan orangtua lebih dini aku persembahkan. Mereka berkeinginan agar aku cepat menyelesaikan kuliahku yang sudah telat satu semester. Walaupun ada yang aku korbankan kala itu, namun aku harus ambil resiko yang cukup berani. Paling tidak aku bangga disebut pecundang. Padahal mereka tidak menyadari alasan dibalik semua itu. Yaitu, harapan orangtua.

Karena aku berfalsafah bahwa tak diridhoi aktivitas kita sebagai anaknya kalau kata-kata orangtuapun masih bisa kita acuhkan. Karena pada saat itu orangtualah yang sangat berjasa memberi pendidikan hingga bangku kuliah,mau tak mau apa kata mereka harus aku turuti, akhirnya terjadilah sejarah tahun lalu. Yang hanya terjadi sekali mungkin buat sejarah si D.

Kejadian itu tak patut untuk diingat-ingat. Biarlah menjadi buih kenangan yang hilang diterpa sang waktu. Kejadian itu hanya perlu dijadikan ibrah buat generasi selanjutnya. Bahwa tak selamanya hidup ini diikat oleh peraturan manusia, masih ada aturan Illahi yang berada di atasa aturan apapun. Apasih, kagak nyambung sob. Hehe.

Akhirnya, wisuda membawaku pada sebuah fase kehidupan baru. Fase dimana kita mulai memperjuangkan kehidupan yang lebih kejam. Kita ada karena apa yang kita lakukan. Kita binasa jika tak ada yang berpegaruh di sekeliling kita. Semua serba cepat. Kita terlambat, maka kita dilahap. Sedikit cuplikan hidup dari hamba yang senantiasa membuat sesuatu disekitar menjadi lebih berarti. 

Dari perkuliahan, kita membangun peradaban.”

Salam Lombeng!
Transformasi IAIN ke UIN, Wisuda dan Harapan Ortu Transformasi IAIN ke UIN, Wisuda dan Harapan Ortu Reviewed by Bamzsusilo on Sabtu, Juni 06, 2015 Rating: 5

Tidak ada komentar

Berkomentarlah yang sopan dan bijak..

Post AD

home ads